Berawal
dari sebuah mimpi. Impian itu telah ku ukir sejak SD. Sekalipun orang-orang
disekelilingku mencemooh mimpi yang ku punya. Mama selalu berpesan, “jangan
terlalu bermuluk-muluk nak, kita orang kecil, kamu bisa tamat SMA ini saja
sudah mukjizat dari Allah. Lihatlah kehidupan kita, suatu keniscyaan mama mampu
mengkuliahkanmu nak.” Aku hanya mampu membalas pesan mama dengan senyuman
sembari berkata “ia ma, han nggak akan nyusahin mama kok, kalaupun han ingin
kuliah han akan sambil kerja, tiada keniscayaan ma, jika Allah mengizinkan. Han
Cuma butuh restu dari mama. Kita serahin semua kepada Allah ya ma.”
Mei
2010, teman-teman di sekolah tampak begitu sibuk untuk memilih kampus tujuan
dan jurusan yang mereka cita-citakan. Begitu banyak tawaran undangan dari
berbagai kampus bergengsi di Indinesia. Namun, aku hanya bisa menjadi penonton
di saat kesibukan teman-teman. Sepulang sekolah, ku dipanggil oleh kepala
sekolah ke ruangannya. “Jehan, kenapa kamu belum memilih kampus tujuan?” lantas
kepala sekolah mengeluarkan undangan dari kampus UGM. “baiklah jika kamu belum
memilih, ini bapak pilihkan kampus yang paling bergengsi tentu kamu tidak akan
menolaknya.” Aku hanya mampu tertunduk dan menjawab dengan tegar “maaf pak,
bukannya saya tidak mau namun saya tidak ada dana untuk melanjut ke perguruan
tinggi itu.” Aku pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Panasnya
terik siang itu tak sedikitpun mematahkan semangatku dan membuatku untuk
menyalahkan keadaan. Ku yakin ku tetap mampu berkuliah sekalipun harus kuliah
di kampus yang di pandang tidak berkualitas. Sesampai di rumah ku hanya mampu
berdo’a. Sepanjang waktu dan malam ku hanya mampu memohon kepada-Nya untuk
memberikan yang terbaik. Dalam hening malam ku selalu curahkan harapanku
kepada-Nya. Ketika malam hadir diatas sajadah-Nya ku merasa tenang ketika
harapan-harapan itu ku serahkan pada-Nya sembari memandangi ukiran mimpi yang
telah ku goreskan di buku catatanku.
Di
hari berikutnya ku kembali dipanggil oleh kepala sekolah ke ruangannya. Dengan
langkah yang pasti berbalut senyuman indah dan harapan yang besar ku menuju
ruangan tersebut. “ini ada tawaran kuliah dengan beasiswa, namun saya juga
belum pernah dengar sebelumnya. Silahkan kamu isi formulir ini di rumah,
selanjutnya kita akan coba kirim.” Dengan senang hati ku terima formulir itu
dan membawanya pulang ke rumah.
Setiba
di rumah aku sempat bingung untuk menceritakan tentang formulir yang ku dapat
ke keluarga. Karena hal ini pernah terjadi sebelumnya. Ketika ku mendapat
tawaran beasiswa untuk melanjut ke SMA bertaraf internasional di pulau jawa
ayah dengan tegas menentang keinginanku tersebut. Dengan berat hati beasiswa
SMA itu aku lepas begitu saja. Lamunan ku tersentak oleh panggilan mama untuk
membantunya di dapur. Sembari membantu mama memasak ku beranikan diri untuk
menceritakan tentang formulir beasiswa tersebut. Mama tidak ada mengeluarkan
komentar, malah meninggalkanku ketika itu. Lantas aku menceritakannya ke
kakakku. Kakak juga lagi-lagi malah menceritakan kalau itu tidak mungkin.
Karena beasiswa itu belum pernah ada sebelumnya. “sudahlah dek, gausah bermimpi
terlalu jauh, mana ada itu beasiswa.” Aku pun mengambil kembali formulir itu
dan mengisinya secara diam-diam. aku tidak berani menceritakan tentang formulir
itu ke ayah, karena pasti akan ditentang lagi.
Keesokkan
paginya dengan terburu-buru aku meminta tanda tangan mama, tanpa bertanya
karena kesibukan rumah di pagi hari mama tidak melihat berkas yang di tanda
tanganinya. Aku pun merasa lega dan berhasil memperoleh tanda tangan mama.
Setelah
seminggu pemberkasan ku ceritakan ke mama bahwa formulir kemarin tetap ku isi
dan ku kirimkan. Ku mohon ke mama untuk meRidhoiku untuk mengikuti seleksi itu.
Berlanjut sebulan, belum juga ada pengumuman tentang kelulusan beasiswa yang ku
ikuti sementara teman-teman sudah mendapat pengumuman. Sembari bekerja sebagai
seorang guru privat ketika itu ku tetap menunggu detik-detik pengumuman itu.
Sepulang dari ngajar ku mendapat telepon dari Universitas Negeri Medan yang
menyatakan aku lulus dengan nilai sempurna sebagai mahasiswa penerima beasiswa
Bidik Misi 2010 di jurusan PGSD. Serasa mimpi ketika itu ku langsung
menceritakan kabar baik itu ke mama. Lagi-lagi sekeluarga belum percaya akan
adanya beasiswa itu. Namun dengan langkah yang pasti ku yakin ini jawaban Tuhan
dari do’a-do’aku selama ini.
14
Mei 2014 aku berhasil menjadi mahasiswa pertama di jurusan yang menembus 3,5
tahun untuk menyelesaikan studi S-1 ku. Tepat di hari bahagia itu aku mampu
mempersembahkan pakaian togaku dengan prestasi freshgraduate dan cumload untuk
orang tua tercinta. Di gedung yang penuh haru tepat kursi ku berada di samping
wisudawan magister pendidikan dan mama berkata “mama ingin sekali melihat anak
mama berhasil memakai toga S2, kapan ya?” dengan tegas dan penuh semangat ku
menjawab “amin, mohon do’anya ya ma, toga magister akan han persembahkan di
tahun berikutnya.”
15
Mei 2015 aku iseng untuk mengecek email. Satu inbox undangan dari kementerian
pendidikan yang isinya ucapan selamat karena sebagai mahasiswa berprestasi dan
mereka melampirkan undangan untuk mengikuti beasiswa S2 LPDP. Tanpa berfikir
panjang ku telusuri web yang dilampirkan. Hampir patah semangat karena ternyata
tidak ada list kampus pendidikan yang dituju sesuai dengan jurusanku saat itu.
Dengan ide gila, ku beranikan untuk menghubungi pihak kemendikbud menanyakan
hal tersebut. Seorang ibu yang menjadi motivator bagiku, memberikan penerangan
dan meyakinkanku agar ku mengikuti beasiswa itu dan menanyakan akan pola
universitas pendidikan yang ku inginkan. Berlanjut dengan menghubungi pihak
yang lebih berwenang atas beasiswa itu dengan ramah dan begitu loyal, sang
bapak memfasilitasiku dengan informasi yang ku butuhkan. Sejak priode itu
ditetapkanlah unversitas pendidikan masuk ke dalam list LPDP.
Tahapan
demi tahapan seleksi ku ikuti dengan selalu menyandarkan Allah di hatiku,
kemanapun dan apapun keputusanku dalam memilih. Sembari menunggu pengumuman
kelulusan dari LPDP ku melengkapi berkas untuk mendaftar di UPI sebagai kampus
tujuan. Sore yang penuh kesibukan ketika ku ingin mentransfer uang untuk
pendaftaran dan memesan tiket untuk keberangkatan ujian di UPI ku dikejutkan
oleh kabar gembira bahwa adikku lulus di S-1 UNI Syarif Hidayatullah, Jakarta
dan harus segera melakukan daftar ulang. Dengan berat hati ku harus melepas
keinginan untuk melanjut ke UPI. Karena ku yakin masa depan adik ku lebih utama
ketika itu. Aku nggak mau hatinya hancur ketika ia menceritakan kelulusan itu
dan orang tua mematahkan semangatnya. Dengan senyuman dan airmata kurapikan dan
ku simpan berkas pendaftaranku. Dan menyambut kabar gembira dari adikku. “kamu
akan berangkat sayang, kamu nggak usah fikirkan dari mana uangnya. Kamu siapkan
saja berkasnya dan kamu kuatkan hati untuk berangkat ke jakarta ya. Kakak akan
usahakan keberangkatanmu. Allah akan memberi jalan kepada kita.”
Lagi-lagi
keluarga mencemooh ide gilaku untuk mendukung adikku berkuliah di luar kota.
Bahkan ketika itu aku harus mendengar cemoohan bahwa ku dianggap sebagai anak
tidak tau diri yang memiliki mimpi nggak sesuai dengan kehidupan. Apalagi
mereka mendengar aku ingin melanjut S-2. Aku hanya tersenyum dengan cemoohan
itu. Dan tetap mencari tiket serta mengumpulkan ide untuk mendapatkan total
uang tersebut.
Dengan
izin Allah ku berhasil memberangkatkan adikku dan memberikan keyakinan kepada
orang tua bahwa ini yang terbaik untuk masa depan adikku. Malam itu ayah begitu
terkejut ketika adikku harus meminta izin karena ingin berangkat. Awalnya ayah
marah besar dan sempat emosinya tak terkontrol. Namun aku pertegas bahwa aku
dan adikku tidak akan meminta dana sepeserpun karena semuanya sudah siap, tiket
sudah ada dan adik siap terbang. Ayah terduduk diam mendengar penjelasanku. tak
terfikirkan lagi nasib pendaftaran S-2 ku ke UPI. Aku hanya mampu
memasrahkannya kepada Allah.
Berkeliling
di lapangan kampus hijauku tentunya menjadi kebiasaan yang ku sukai ketika
kepenatan menghampiriku. Tanpa sengaja terbaca olehku jadwal pendaftaran
pascasarjana di kampus S-1 ku itu. Ku beranikan untuk meminjam uang kepada
orang lain untuk mengambil formulir pendaftaran ketika itu. Dan alhamdulillah
setelah mengikuti seleksi ku berhasil lulus di jurusan yang ku tuju. Setelah
pengumuman di pascasarjana ku mendapat panggilan wawancara dari LPDP. Dan
luarbiasa mukjizat Tuhan lokasi wawancara tidak perlu mengeluarkan biaya. Belum
pernah sebelumnya kampusku menjadi tempat wawancara. Ku hanya tersenyum dan ini
adalah jawaban atas doa’a-do’aku dan ibuku benar-benar karunia Tuhan yang
selalu ku rasakan.
Hingga
hari ini ku mampu menjadi awardee di LPDP dan mampu melanjutkan S-2 berkat
pertolongan Allah SWT melalui LPDP. Dengan tekatku yang kuat sebagai rasa
terimakasihku untuk LPDP ku terus mengukir prestasi di akademisku dan
memberikan loyalitas dalam mensosialisasikan beasiswa LPDP bagi orang-orang
yang membutuhkan. Hingga kini sekalipun di tengah kesibukan ketika ada inbox
dari sosmed yang menanyakan tentang LPDP ku coba untuk melayani dengan loyal
sesuai dengan lima sifat yang selalu ditanamkan dari LPDP.