Rabu, 26 Agustus 2015

Story about story



Berawal dari sebuah mimpi. Impian itu telah ku ukir sejak SD. Sekalipun orang-orang disekelilingku mencemooh mimpi yang ku punya. Mama selalu berpesan, “jangan terlalu bermuluk-muluk nak, kita orang kecil, kamu bisa tamat SMA ini saja sudah mukjizat dari Allah. Lihatlah kehidupan kita, suatu keniscyaan mama mampu mengkuliahkanmu nak.” Aku hanya mampu membalas pesan mama dengan senyuman sembari berkata “ia ma, han nggak akan nyusahin mama kok, kalaupun han ingin kuliah han akan sambil kerja, tiada keniscayaan ma, jika Allah mengizinkan. Han Cuma butuh restu dari mama. Kita serahin semua kepada Allah ya ma.”
Mei 2010, teman-teman di sekolah tampak begitu sibuk untuk memilih kampus tujuan dan jurusan yang mereka cita-citakan. Begitu banyak tawaran undangan dari berbagai kampus bergengsi di Indinesia. Namun, aku hanya bisa menjadi penonton di saat kesibukan teman-teman. Sepulang sekolah, ku dipanggil oleh kepala sekolah ke ruangannya. “Jehan, kenapa kamu belum memilih kampus tujuan?” lantas kepala sekolah mengeluarkan undangan dari kampus UGM. “baiklah jika kamu belum memilih, ini bapak pilihkan kampus yang paling bergengsi tentu kamu tidak akan menolaknya.” Aku hanya mampu tertunduk dan menjawab dengan tegar “maaf pak, bukannya saya tidak mau namun saya tidak ada dana untuk melanjut ke perguruan tinggi itu.” Aku pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Panasnya terik siang itu tak sedikitpun mematahkan semangatku dan membuatku untuk menyalahkan keadaan. Ku yakin ku tetap mampu berkuliah sekalipun harus kuliah di kampus yang di pandang tidak berkualitas. Sesampai di rumah ku hanya mampu berdo’a. Sepanjang waktu dan malam ku hanya mampu memohon kepada-Nya untuk memberikan yang terbaik. Dalam hening malam ku selalu curahkan harapanku kepada-Nya. Ketika malam hadir diatas sajadah-Nya ku merasa tenang ketika harapan-harapan itu ku serahkan pada-Nya sembari memandangi ukiran mimpi yang telah ku goreskan di buku catatanku.
Di hari berikutnya ku kembali dipanggil oleh kepala sekolah ke ruangannya. Dengan langkah yang pasti berbalut senyuman indah dan harapan yang besar ku menuju ruangan tersebut. “ini ada tawaran kuliah dengan beasiswa, namun saya juga belum pernah dengar sebelumnya. Silahkan kamu isi formulir ini di rumah, selanjutnya kita akan coba kirim.” Dengan senang hati ku terima formulir itu dan membawanya pulang ke rumah.
Setiba di rumah aku sempat bingung untuk menceritakan tentang formulir yang ku dapat ke keluarga. Karena hal ini pernah terjadi sebelumnya. Ketika ku mendapat tawaran beasiswa untuk melanjut ke SMA bertaraf internasional di pulau jawa ayah dengan tegas menentang keinginanku tersebut. Dengan berat hati beasiswa SMA itu aku lepas begitu saja. Lamunan ku tersentak oleh panggilan mama untuk membantunya di dapur. Sembari membantu mama memasak ku beranikan diri untuk menceritakan tentang formulir beasiswa tersebut. Mama tidak ada mengeluarkan komentar, malah meninggalkanku ketika itu. Lantas aku menceritakannya ke kakakku. Kakak juga lagi-lagi malah menceritakan kalau itu tidak mungkin. Karena beasiswa itu belum pernah ada sebelumnya. “sudahlah dek, gausah bermimpi terlalu jauh, mana ada itu beasiswa.” Aku pun mengambil kembali formulir itu dan mengisinya secara diam-diam. aku tidak berani menceritakan tentang formulir itu ke ayah, karena pasti akan ditentang lagi.
Keesokkan paginya dengan terburu-buru aku meminta tanda tangan mama, tanpa bertanya karena kesibukan rumah di pagi hari mama tidak melihat berkas yang di tanda tanganinya. Aku pun merasa lega dan berhasil memperoleh tanda tangan mama.
Setelah seminggu pemberkasan ku ceritakan ke mama bahwa formulir kemarin tetap ku isi dan ku kirimkan. Ku mohon ke mama untuk meRidhoiku untuk mengikuti seleksi itu. Berlanjut sebulan, belum juga ada pengumuman tentang kelulusan beasiswa yang ku ikuti sementara teman-teman sudah mendapat pengumuman. Sembari bekerja sebagai seorang guru privat ketika itu ku tetap menunggu detik-detik pengumuman itu. Sepulang dari ngajar ku mendapat telepon dari Universitas Negeri Medan yang menyatakan aku lulus dengan nilai sempurna sebagai mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi 2010 di jurusan PGSD. Serasa mimpi ketika itu ku langsung menceritakan kabar baik itu ke mama. Lagi-lagi sekeluarga belum percaya akan adanya beasiswa itu. Namun dengan langkah yang pasti ku yakin ini jawaban Tuhan dari do’a-do’aku selama ini.
14 Mei 2014 aku berhasil menjadi mahasiswa pertama di jurusan yang menembus 3,5 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 ku. Tepat di hari bahagia itu aku mampu mempersembahkan pakaian togaku dengan prestasi freshgraduate dan cumload untuk orang tua tercinta. Di gedung yang penuh haru tepat kursi ku berada di samping wisudawan magister pendidikan dan mama berkata “mama ingin sekali melihat anak mama berhasil memakai toga S2, kapan ya?” dengan tegas dan penuh semangat ku menjawab “amin, mohon do’anya ya ma, toga magister akan han persembahkan di tahun berikutnya.”
15 Mei 2015 aku iseng untuk mengecek email. Satu inbox undangan dari kementerian pendidikan yang isinya ucapan selamat karena sebagai mahasiswa berprestasi dan mereka melampirkan undangan untuk mengikuti beasiswa S2 LPDP. Tanpa berfikir panjang ku telusuri web yang dilampirkan. Hampir patah semangat karena ternyata tidak ada list kampus pendidikan yang dituju sesuai dengan jurusanku saat itu. Dengan ide gila, ku beranikan untuk menghubungi pihak kemendikbud menanyakan hal tersebut. Seorang ibu yang menjadi motivator bagiku, memberikan penerangan dan meyakinkanku agar ku mengikuti beasiswa itu dan menanyakan akan pola universitas pendidikan yang ku inginkan. Berlanjut dengan menghubungi pihak yang lebih berwenang atas beasiswa itu dengan ramah dan begitu loyal, sang bapak memfasilitasiku dengan informasi yang ku butuhkan. Sejak priode itu ditetapkanlah unversitas pendidikan masuk ke dalam list LPDP.
Tahapan demi tahapan seleksi ku ikuti dengan selalu menyandarkan Allah di hatiku, kemanapun dan apapun keputusanku dalam memilih. Sembari menunggu pengumuman kelulusan dari LPDP ku melengkapi berkas untuk mendaftar di UPI sebagai kampus tujuan. Sore yang penuh kesibukan ketika ku ingin mentransfer uang untuk pendaftaran dan memesan tiket untuk keberangkatan ujian di UPI ku dikejutkan oleh kabar gembira bahwa adikku lulus di S-1 UNI Syarif Hidayatullah, Jakarta dan harus segera melakukan daftar ulang. Dengan berat hati ku harus melepas keinginan untuk melanjut ke UPI. Karena ku yakin masa depan adik ku lebih utama ketika itu. Aku nggak mau hatinya hancur ketika ia menceritakan kelulusan itu dan orang tua mematahkan semangatnya. Dengan senyuman dan airmata kurapikan dan ku simpan berkas pendaftaranku. Dan menyambut kabar gembira dari adikku. “kamu akan berangkat sayang, kamu nggak usah fikirkan dari mana uangnya. Kamu siapkan saja berkasnya dan kamu kuatkan hati untuk berangkat ke jakarta ya. Kakak akan usahakan keberangkatanmu. Allah akan memberi jalan kepada kita.”
Lagi-lagi keluarga mencemooh ide gilaku untuk mendukung adikku berkuliah di luar kota. Bahkan ketika itu aku harus mendengar cemoohan bahwa ku dianggap sebagai anak tidak tau diri yang memiliki mimpi nggak sesuai dengan kehidupan. Apalagi mereka mendengar aku ingin melanjut S-2. Aku hanya tersenyum dengan cemoohan itu. Dan tetap mencari tiket serta mengumpulkan ide untuk mendapatkan total uang tersebut.
Dengan izin Allah ku berhasil memberangkatkan adikku dan memberikan keyakinan kepada orang tua bahwa ini yang terbaik untuk masa depan adikku. Malam itu ayah begitu terkejut ketika adikku harus meminta izin karena ingin berangkat. Awalnya ayah marah besar dan sempat emosinya tak terkontrol. Namun aku pertegas bahwa aku dan adikku tidak akan meminta dana sepeserpun karena semuanya sudah siap, tiket sudah ada dan adik siap terbang. Ayah terduduk diam mendengar penjelasanku. tak terfikirkan lagi nasib pendaftaran S-2 ku ke UPI. Aku hanya mampu memasrahkannya kepada Allah.
Berkeliling di lapangan kampus hijauku tentunya menjadi kebiasaan yang ku sukai ketika kepenatan menghampiriku. Tanpa sengaja terbaca olehku jadwal pendaftaran pascasarjana di kampus S-1 ku itu. Ku beranikan untuk meminjam uang kepada orang lain untuk mengambil formulir pendaftaran ketika itu. Dan alhamdulillah setelah mengikuti seleksi ku berhasil lulus di jurusan yang ku tuju. Setelah pengumuman di pascasarjana ku mendapat panggilan wawancara dari LPDP. Dan luarbiasa mukjizat Tuhan lokasi wawancara tidak perlu mengeluarkan biaya. Belum pernah sebelumnya kampusku menjadi tempat wawancara. Ku hanya tersenyum dan ini adalah jawaban atas doa’a-do’aku dan ibuku benar-benar karunia Tuhan yang selalu ku rasakan.
Hingga hari ini ku mampu menjadi awardee di LPDP dan mampu melanjutkan S-2 berkat pertolongan Allah SWT melalui LPDP. Dengan tekatku yang kuat sebagai rasa terimakasihku untuk LPDP ku terus mengukir prestasi di akademisku dan memberikan loyalitas dalam mensosialisasikan beasiswa LPDP bagi orang-orang yang membutuhkan. Hingga kini sekalipun di tengah kesibukan ketika ada inbox dari sosmed yang menanyakan tentang LPDP ku coba untuk melayani dengan loyal sesuai dengan lima sifat yang selalu ditanamkan dari LPDP.


Mei_Va



Sesuatu yang benar-benar aneh,
Begitu banyak ativitas di luar, begitu banyak tawaran canda tawa di luar, begitu banyak hiburan yang tersedia, begitu banyak.
Ku merasakan malam yang begitu romantis dengan keindahan sang cahaya yang terlihat dari pancaran kelipan lampu di tengah gelapnya langit tanpa bintang.
Euforia keindahan yang ditawarkan alam begitu memikat.
Namun, mengapa masih saja airsuci ini kian mengalir, masih saja hati ini merasa ada yang hilang, merasa sepi tanpa apapun. Akankah ku kurang bersyukur atas begitu banyak nikmat-Nya hari ini.
Ketika dalam kesendirian ku coba untuk bertanya pada kedalaman hati ini apa yang sebenarnya ku inginkan? Teman sudah banyak, bukan. Keluarga lengkap, prestasi, aktivitas dan dunia maya. Tapi, tetap saja ada yang kurang dalam kehidupan ini. Mei 2014, kehadiran bulan itu bagaikan kilatan petir di tengah gemerlap malam dengan sejuta keindahan bintangnya. Bulan yang menjadikan kebahagiaan bagi sebagian orang semakin sempurna. Sayangnya tidak dengan jiwa ini.
Mei adalah bulan baru. Ya, terbisik olehku ketika itu bahwa semua akan berbalik 180 derajat. Ternyata kebahagiaan itu tidak selamanya menghampiri. Ternyata kebahagiaan itu memiliki banyak defenisi. Ketika pendidikan menuntut pembelajaran yang bermakna, maka jiwa ini juga butuh hari-hari yang bermakna. Ketika pembelajaran bermakna berpatokan pada guru, maka hari-hari bermakna pada jiwa ini adalah ketika...........................................................................
Kini hari-hari ini terasa seperti sinetron yang berharap episodenya segera berakhir. Canda tawa yang terukir sebatas sandiwara bukan canda tawa lepas.
Haha, terasa bodoh. Ketika melihat kalender ternyata hari-hari yang dilalui masihlah terlalu sedikit. Masih bisa dihitung dengan istilah bulan.
Hati itu sulit untuk dibohongi. Hati sulit diajak untuk bersandiwara tak seperti lidah yang mampu berbalik kata, tak seperti senyuman dan tawa yang mampu dibuat-buat. Hati begitu jujur.
Ntah apa yang ditunggu setiap hari, kalender yang segera bertukar maju, atau sebaliknya kalender yang bertukar mundur untuk mengulang hari kemarin.
Ketika memang kalender mampu ditukar mundur maka ku tak ingin memijakkan kaki di kampus hijau itu, ku tak ingin mengadakan pertemuan di auditorium itu. Dan ku tak ingin bermain di lapangan merdeka itu. Seharusnya ku tak perlu mengenal seorang teman. Seharusnya ku tak perlu membuka hati. Sendiri selamanya mungkin akan lebih indah. Menahan dan menyimpan semuanya dengan rapi. Tiada pernah terukir canda tawa lepas di lapangan itu, atau berbagi cerita dan pengalaman. Sebentuk kamar dengan benda-benda mati mungkin lebih baik karena mereka tidak memiliki hati dan tidak merasa tersakiti ketika jiwa ini melakukan kesalahan atau kekhilafan.
Ah, semua sudah terjadi. Ntah sampai kapan hukuman ini mampu dilalui. Hingga keakutan ini semakin parah, atau hingga jiwa ini tak lagi mampu bermanfaat untuk orang banyak.
Dari kecil langit dan bintang selalu menjadi teman. Dan hari ini lagi-lagi mata ini menatap keatas. “hei langit, ternyata kamu yang paling setia. Menjadi teman selamanya. Tak pantaskah jiwa ini memiliki teman yang sesungguhnya”.
Kata mereka jangan pernah pacaran karena akan menyakitkan. Ya, itu benar. Jiwa ini tak pernah merasakan pernah menjalani pacaran. Jiwa ini pernah kehadiran seorang teman hidup, sejiwa, satu senyuman dan satu api semangat. Teman yang dikira tak kan pernah putus hubungan bahkan meninggalkan jiwa ini. Teman, ya memang teman. Jiwa ini pernah kehadiran sosok adik yang begitu manza dan usil. Manzanya mengajarkan jiwa ini untuk mencintai, menghargai dan menyayangi. Usilnya mengajari jiwa ini untuk selalu tersenyum dengan candaan yang dilakukan sang alam dan teori kehidupan. Jiwa ini pernah kehadiran sosok abang yang begitu dewasa. Kedewasaannya membuat jiwa ini merasa ada yang melindungi. Kedewasaannya membuat jiwa ini selalu hidup dengan kata-kata motivasinya. Jiwa ini juga merasakan pengorbanan yang ia lakukan. Kedewasaannya yang selalu mengalah dan merasa jiwa ini selalu dimanza oleh kedewasaannya. Kedewasaan yang begitu tulus. Jiwa ini pernah kehadiran sosok ayah yang begitu bersahaja. Kebersahajaannya mengajarkan jiwa yang begitu keras ini beranjak untuk rapuh. Sahajanya mengajarkan jiwa ini untuk bijaksana. Kebersahajaannya benar-benar sempurna. Sehingga jiwa ini sempat merasakan adanya keluarga kecil yang baru bersamanya. Sosok teman, adik, abang, ayah semua itu ada di satu jiwa. Yang berawal dari ketulusan bukan kepesonaan atau kelebihan.
Yah, semua itu Cuma kisah.
Ini salah seorang diri yang terlalu bodoh atau buta. Kebodohan yang begitu besar dalam kebutaan. Ibarat mengikis kulit sendiri yang akhirnnya akan mengenai organ tubuh bagian dalam. Mengecewakan, sungguh mengecewakan.
“Kecewa” hanya enam huruf yang dimiliki kata itu, namun enam huruf itu serasa bumi yang diruntuhkan.

Mau cerita ke siapa? Gax ada, gax mudah untuk memiliki teman. Ya teman yang sesungguhnya. Cuma satu di dunia ini dan belum sempat di fotocopy. Cukup satu dan gax akan hadir lagi. Hidup tanpa teman serasa separuh jiwa yang berjalan.
Ah, lagi-lagi semuanya Cuma kisah. Kisah di negeri dongeng? Tidak, ini bukan dongeng. Ini hati. Ah, mungkin jiwa ini terlalu dini untuk mampu memahami jiwa yang lain. Apa yang jiwa ini tau tentang hati. Jiwa ini terlalu tajam hingga selalu melukai jiwa yang lain.

Ya, “urus diri masing-masing” kalimat itu..................................................................................


07 Mei 2015