Rabu, 26 Agustus 2015

Mei_Va



Sesuatu yang benar-benar aneh,
Begitu banyak ativitas di luar, begitu banyak tawaran canda tawa di luar, begitu banyak hiburan yang tersedia, begitu banyak.
Ku merasakan malam yang begitu romantis dengan keindahan sang cahaya yang terlihat dari pancaran kelipan lampu di tengah gelapnya langit tanpa bintang.
Euforia keindahan yang ditawarkan alam begitu memikat.
Namun, mengapa masih saja airsuci ini kian mengalir, masih saja hati ini merasa ada yang hilang, merasa sepi tanpa apapun. Akankah ku kurang bersyukur atas begitu banyak nikmat-Nya hari ini.
Ketika dalam kesendirian ku coba untuk bertanya pada kedalaman hati ini apa yang sebenarnya ku inginkan? Teman sudah banyak, bukan. Keluarga lengkap, prestasi, aktivitas dan dunia maya. Tapi, tetap saja ada yang kurang dalam kehidupan ini. Mei 2014, kehadiran bulan itu bagaikan kilatan petir di tengah gemerlap malam dengan sejuta keindahan bintangnya. Bulan yang menjadikan kebahagiaan bagi sebagian orang semakin sempurna. Sayangnya tidak dengan jiwa ini.
Mei adalah bulan baru. Ya, terbisik olehku ketika itu bahwa semua akan berbalik 180 derajat. Ternyata kebahagiaan itu tidak selamanya menghampiri. Ternyata kebahagiaan itu memiliki banyak defenisi. Ketika pendidikan menuntut pembelajaran yang bermakna, maka jiwa ini juga butuh hari-hari yang bermakna. Ketika pembelajaran bermakna berpatokan pada guru, maka hari-hari bermakna pada jiwa ini adalah ketika...........................................................................
Kini hari-hari ini terasa seperti sinetron yang berharap episodenya segera berakhir. Canda tawa yang terukir sebatas sandiwara bukan canda tawa lepas.
Haha, terasa bodoh. Ketika melihat kalender ternyata hari-hari yang dilalui masihlah terlalu sedikit. Masih bisa dihitung dengan istilah bulan.
Hati itu sulit untuk dibohongi. Hati sulit diajak untuk bersandiwara tak seperti lidah yang mampu berbalik kata, tak seperti senyuman dan tawa yang mampu dibuat-buat. Hati begitu jujur.
Ntah apa yang ditunggu setiap hari, kalender yang segera bertukar maju, atau sebaliknya kalender yang bertukar mundur untuk mengulang hari kemarin.
Ketika memang kalender mampu ditukar mundur maka ku tak ingin memijakkan kaki di kampus hijau itu, ku tak ingin mengadakan pertemuan di auditorium itu. Dan ku tak ingin bermain di lapangan merdeka itu. Seharusnya ku tak perlu mengenal seorang teman. Seharusnya ku tak perlu membuka hati. Sendiri selamanya mungkin akan lebih indah. Menahan dan menyimpan semuanya dengan rapi. Tiada pernah terukir canda tawa lepas di lapangan itu, atau berbagi cerita dan pengalaman. Sebentuk kamar dengan benda-benda mati mungkin lebih baik karena mereka tidak memiliki hati dan tidak merasa tersakiti ketika jiwa ini melakukan kesalahan atau kekhilafan.
Ah, semua sudah terjadi. Ntah sampai kapan hukuman ini mampu dilalui. Hingga keakutan ini semakin parah, atau hingga jiwa ini tak lagi mampu bermanfaat untuk orang banyak.
Dari kecil langit dan bintang selalu menjadi teman. Dan hari ini lagi-lagi mata ini menatap keatas. “hei langit, ternyata kamu yang paling setia. Menjadi teman selamanya. Tak pantaskah jiwa ini memiliki teman yang sesungguhnya”.
Kata mereka jangan pernah pacaran karena akan menyakitkan. Ya, itu benar. Jiwa ini tak pernah merasakan pernah menjalani pacaran. Jiwa ini pernah kehadiran seorang teman hidup, sejiwa, satu senyuman dan satu api semangat. Teman yang dikira tak kan pernah putus hubungan bahkan meninggalkan jiwa ini. Teman, ya memang teman. Jiwa ini pernah kehadiran sosok adik yang begitu manza dan usil. Manzanya mengajarkan jiwa ini untuk mencintai, menghargai dan menyayangi. Usilnya mengajari jiwa ini untuk selalu tersenyum dengan candaan yang dilakukan sang alam dan teori kehidupan. Jiwa ini pernah kehadiran sosok abang yang begitu dewasa. Kedewasaannya membuat jiwa ini merasa ada yang melindungi. Kedewasaannya membuat jiwa ini selalu hidup dengan kata-kata motivasinya. Jiwa ini juga merasakan pengorbanan yang ia lakukan. Kedewasaannya yang selalu mengalah dan merasa jiwa ini selalu dimanza oleh kedewasaannya. Kedewasaan yang begitu tulus. Jiwa ini pernah kehadiran sosok ayah yang begitu bersahaja. Kebersahajaannya mengajarkan jiwa yang begitu keras ini beranjak untuk rapuh. Sahajanya mengajarkan jiwa ini untuk bijaksana. Kebersahajaannya benar-benar sempurna. Sehingga jiwa ini sempat merasakan adanya keluarga kecil yang baru bersamanya. Sosok teman, adik, abang, ayah semua itu ada di satu jiwa. Yang berawal dari ketulusan bukan kepesonaan atau kelebihan.
Yah, semua itu Cuma kisah.
Ini salah seorang diri yang terlalu bodoh atau buta. Kebodohan yang begitu besar dalam kebutaan. Ibarat mengikis kulit sendiri yang akhirnnya akan mengenai organ tubuh bagian dalam. Mengecewakan, sungguh mengecewakan.
“Kecewa” hanya enam huruf yang dimiliki kata itu, namun enam huruf itu serasa bumi yang diruntuhkan.

Mau cerita ke siapa? Gax ada, gax mudah untuk memiliki teman. Ya teman yang sesungguhnya. Cuma satu di dunia ini dan belum sempat di fotocopy. Cukup satu dan gax akan hadir lagi. Hidup tanpa teman serasa separuh jiwa yang berjalan.
Ah, lagi-lagi semuanya Cuma kisah. Kisah di negeri dongeng? Tidak, ini bukan dongeng. Ini hati. Ah, mungkin jiwa ini terlalu dini untuk mampu memahami jiwa yang lain. Apa yang jiwa ini tau tentang hati. Jiwa ini terlalu tajam hingga selalu melukai jiwa yang lain.

Ya, “urus diri masing-masing” kalimat itu..................................................................................


07 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar