Sesuatu
yang benar-benar aneh,
Begitu
banyak ativitas di luar, begitu banyak tawaran canda tawa di luar, begitu
banyak hiburan yang tersedia, begitu banyak.
Ku
merasakan malam yang begitu romantis dengan keindahan sang cahaya yang terlihat
dari pancaran kelipan lampu di tengah gelapnya langit tanpa bintang.
Euforia
keindahan yang ditawarkan alam begitu memikat.
Namun,
mengapa masih saja airsuci ini kian mengalir, masih saja hati ini merasa ada
yang hilang, merasa sepi tanpa apapun. Akankah ku kurang bersyukur atas begitu
banyak nikmat-Nya hari ini.
Ketika
dalam kesendirian ku coba untuk bertanya pada kedalaman hati ini apa yang
sebenarnya ku inginkan? Teman sudah banyak, bukan. Keluarga lengkap, prestasi,
aktivitas dan dunia maya. Tapi, tetap saja ada yang kurang dalam kehidupan ini.
Mei 2014, kehadiran bulan itu bagaikan kilatan petir di tengah gemerlap malam
dengan sejuta keindahan bintangnya. Bulan yang menjadikan kebahagiaan bagi
sebagian orang semakin sempurna. Sayangnya tidak dengan jiwa ini.
Mei
adalah bulan baru. Ya, terbisik olehku ketika itu bahwa semua akan berbalik 180
derajat. Ternyata kebahagiaan itu tidak selamanya menghampiri. Ternyata
kebahagiaan itu memiliki banyak defenisi. Ketika pendidikan menuntut
pembelajaran yang bermakna, maka jiwa ini juga butuh hari-hari yang bermakna.
Ketika pembelajaran bermakna berpatokan pada guru, maka hari-hari bermakna pada
jiwa ini adalah
ketika...........................................................................
Kini
hari-hari ini terasa seperti sinetron yang berharap episodenya segera berakhir.
Canda tawa yang terukir sebatas sandiwara bukan canda tawa lepas.
Haha,
terasa bodoh. Ketika melihat kalender ternyata hari-hari yang dilalui masihlah
terlalu sedikit. Masih bisa dihitung dengan istilah bulan.
Hati
itu sulit untuk dibohongi. Hati sulit diajak untuk bersandiwara tak seperti
lidah yang mampu berbalik kata, tak seperti senyuman dan tawa yang mampu
dibuat-buat. Hati begitu jujur.
Ntah
apa yang ditunggu setiap hari, kalender yang segera bertukar maju, atau
sebaliknya kalender yang bertukar mundur untuk mengulang hari kemarin.
Ketika
memang kalender mampu ditukar mundur maka ku tak ingin memijakkan kaki di
kampus hijau itu, ku tak ingin mengadakan pertemuan di auditorium itu. Dan ku
tak ingin bermain di lapangan merdeka itu. Seharusnya ku tak perlu mengenal
seorang teman. Seharusnya ku tak perlu membuka hati. Sendiri selamanya mungkin
akan lebih indah. Menahan dan menyimpan semuanya dengan rapi. Tiada pernah
terukir canda tawa lepas di lapangan itu, atau berbagi cerita dan pengalaman.
Sebentuk kamar dengan benda-benda mati mungkin lebih baik karena mereka tidak
memiliki hati dan tidak merasa tersakiti ketika jiwa ini melakukan kesalahan
atau kekhilafan.
Ah,
semua sudah terjadi. Ntah sampai kapan hukuman ini mampu dilalui. Hingga
keakutan ini semakin parah, atau hingga jiwa ini tak lagi mampu bermanfaat
untuk orang banyak.
Dari
kecil langit dan bintang selalu menjadi teman. Dan hari ini lagi-lagi mata ini
menatap keatas. “hei langit, ternyata kamu yang paling setia. Menjadi teman
selamanya. Tak pantaskah jiwa ini memiliki teman yang sesungguhnya”.
Kata
mereka jangan pernah pacaran karena akan menyakitkan. Ya, itu benar. Jiwa ini
tak pernah merasakan pernah menjalani pacaran. Jiwa ini pernah kehadiran seorang
teman hidup, sejiwa, satu senyuman dan satu api semangat. Teman yang dikira tak
kan pernah putus hubungan bahkan meninggalkan jiwa ini. Teman, ya memang teman.
Jiwa ini pernah kehadiran sosok adik yang begitu manza dan usil. Manzanya
mengajarkan jiwa ini untuk mencintai, menghargai dan menyayangi. Usilnya
mengajari jiwa ini untuk selalu tersenyum dengan candaan yang dilakukan sang
alam dan teori kehidupan. Jiwa ini pernah kehadiran sosok abang yang begitu
dewasa. Kedewasaannya membuat jiwa ini merasa ada yang melindungi.
Kedewasaannya membuat jiwa ini selalu hidup dengan kata-kata motivasinya. Jiwa
ini juga merasakan pengorbanan yang ia lakukan. Kedewasaannya yang selalu
mengalah dan merasa jiwa ini selalu dimanza oleh kedewasaannya. Kedewasaan yang
begitu tulus. Jiwa ini pernah kehadiran sosok ayah yang begitu bersahaja.
Kebersahajaannya mengajarkan jiwa yang begitu keras ini beranjak untuk rapuh.
Sahajanya mengajarkan jiwa ini untuk bijaksana. Kebersahajaannya benar-benar
sempurna. Sehingga jiwa ini sempat merasakan adanya keluarga kecil yang baru
bersamanya. Sosok teman, adik, abang, ayah semua itu ada di satu jiwa. Yang
berawal dari ketulusan bukan kepesonaan atau kelebihan.
Yah,
semua itu Cuma kisah.
Ini
salah seorang diri yang terlalu bodoh atau buta. Kebodohan yang begitu besar
dalam kebutaan. Ibarat mengikis kulit sendiri yang akhirnnya akan mengenai
organ tubuh bagian dalam. Mengecewakan, sungguh mengecewakan.
“Kecewa”
hanya enam huruf yang dimiliki kata itu, namun enam huruf itu serasa bumi yang diruntuhkan.
Mau
cerita ke siapa? Gax ada, gax mudah untuk memiliki teman. Ya teman yang
sesungguhnya. Cuma satu di dunia ini dan belum sempat di fotocopy. Cukup satu
dan gax akan hadir lagi. Hidup tanpa teman serasa separuh jiwa yang berjalan.
Ah,
lagi-lagi semuanya Cuma kisah. Kisah di negeri dongeng? Tidak, ini bukan
dongeng. Ini hati. Ah, mungkin jiwa ini terlalu dini untuk mampu memahami jiwa
yang lain. Apa yang jiwa ini tau tentang hati. Jiwa ini terlalu tajam hingga
selalu melukai jiwa yang lain.
Ya,
“urus diri masing-masing” kalimat
itu..................................................................................
07
Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar