BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh
(UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek
lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter
didefinisikan sebagai sifat-sifat pribadi yang relatif stabil pada diri
Individu dan menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan
norma yang tinggi. Dalam ini karakter (kepribadian) merupakan sebuah kebiasaan
yang dilakoni oleh seseoarang dalam tindakan sehari-harinya dan menjadi
tampilan perilaku diri seseorang. Ketika karkater yang ia miliki positif maka tentunya ia juga
memiliki pandangan, jati diri dan kebiasaan yang positif.
Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan
mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran,
emosi dan motivasinya (perasaannya).
Presiden Soekarno sebagai salah satu
The Founding Fathers telah merancang gagasan besar pembangunan watak bangsa (
Nation and Character Building ) yang kemudian dikenal dengan TRI SAKTI yang
sangat relevan dalam pembentukan watak bangsa Indonesia, Yakni : 1. Dalam
Politik, Kita berdaulat, 2. Dalam ekonomi, kita berdikari , dan 3. Dalam
Budaya, Kita berkepribadian. Arah pembangunan watak bangsa juga sangatlah jelas
terlihat, yaitu terwujudnya bangsa Indonesia yang memiliki watak kebangsaan
yang bermatabat dan berbudi luhur.
Strategi Universitas Negeri Medan
menuju UNIMED 2025, menjadi The Character Building university yang menetapkan 6
pilar pendidikan karakter adalah : 1. Dapat dipercaya (trustworthemess) 2.
Kehormatan ( respect ) 3. Tanggung Jawab (responsibility) 4. Keadilan
(fearness) 5. Kepedulian (caring) dan 6. Kewarganegaraan (Citizenship). Ke enam
pilar tersebut diharapkan dapat tumbuh dan berkembang tidak hanya terhadap
mahasiswa Unimed tetapi generasi penerus bangsa di Indonesia juga.
Berdasarkan fakta yang dikemukakan
Sinaga (2011) dalam sebuah artikel, yang
dikeluarkan oleh International Labor organization-Internatioanal
Programme on the Elimination of Child Labor (ILO-IPEC) dalam rangka
memperingati World Day Againts Child Labour 12 Juni 2010 sebanyak 1,2 Juta anak
menjadi korban perdagangan anak setiap tahunnya di dunia ketiga.
Pengaribuan ( 2008 ) melaporkan
kembali hasil penelitian dr. Boyke yang mengungkapkan bahwa ada sekitar 50%
dari sampel penelitiannya, yaitu anak-anak SLTA telah melakukan hubungan seks
sebelum menikah. Penduduk Indonesia sudah terbukti mulai melakukan hubungan
seks pada umur yang masih muda. Creagh (2004) melaporkan kembali hasil
penelitian Yayasan Kusuma Buana menunjukkan bahwa sebanyak 10,3% dari 3,594
remaja di 12 kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks bebas.
Berdasarkan data dari jakarta,
kompas.com yang diakses pada hari selasa 18 April 2013 menyebutkan bahwa “
gelombang budaya pop korea sedang menerjang dunia. Anak muda dimana-mana
histeris melihat aksi boyband/girlband korea. Inilah puncak gunung es dari
kisah tentang penetrasi budaya pop di sekitar kita”.
Kini karakter bangsa indonesia sudah
mulai luntur sejak masuknya globalisasi. Dengan banyaknya tren baru yang masuk
ke indonesia menyebabkan jati diri bangsa indonesia yang dahulunya menganut
budaya timur sudah mengarah ke budaya barat. Prilaku yang dianut oleh bangsa
kita sudah condong kepada budaya barat.
Bangsa Indonesia telah terjebak pada
gaya hidup yang pragmatis ekonomis. Dengan meniru budaya barat (westernisan)
secara parsial, tanpa memahami substansinya secara utuh. Budaya ini telah
mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia pada kalangan pelajar, mahasiswa
maupun birokrat. Pada kalangan muda juga telah kehilangan prilaku sopan santun,
ketidak jujuran, kehilangan jati diri bangsa bahkan prilaku menyimpang seperti
hubungan seks bebas.
Sikap remaja saat ini yang terkena
virus dari budaya barat sudah menjadi hal yang wajar saat ini. Tiada lagi
karakter ketimuran yang tercipta bahkan terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya musik k-pop yang saat ini sedang membanjiri dunia remaja bahkan
dunia mahasiswa kita sendiri. Sungguh miris tentunya ketika kita mendengar
masalah ini.
Dengan banyaknya permasalahan diatas
maka penulis merasa terpanggil untuk membuat karya tulis dengan memberikan
solusi yang berjudul “Cetar Sebagai
Solusi Cerdas Membangun Karakter Bangsa”. Jika permasalahan ini tidak
segera ditanggulangi dan diberikan perhatian dengan memberikan solusi yang
bijak, maka penulis yakin di tahun depan bangsa ini sudah tidak lagi memiliki
jati diri. Kita khawatir sejarah akan kembali terulang dan bangsa ini akan
segera dijajah oleh negara-negara adikuasa.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan paparan pada latar
belakang masalah diatas maka dirumuskan sebuah masalah yakni “Bagaimana solusi cerdas untuk membangun
karakter bangsa Indonesia?”
1.3 Gagasan Kreatif
Betapa pentingnya sebuah karakter
bagi suatu bangsa yang merupakan sebuah dasar dari segala kehidupan bangsa
Indonesia. Toho ( 2008 ) mengatakan bahwa “ ....Jika hendak membangun negara
dan bangsa diperlukan karakter, akhlak yang mulia dan mental yang baik. Sebuah pernyataan bijak yang dtuliskan oleh
Wanapri Pangaribuan dalam sebuah artikel yaitu: “jika harta hilang (habis)
sesungguhnya tidak ada yang hilang; jika kesehatan hilang maka satu hal telah
hilang dan jika karakter hilang maka segalanya telah hilang”.
Untuk itu penulis memberikan sebuah
Soulusi Cerdas untuk membentuk karakter Bangsa Indonesia Melalui “Cetar” yaitu Ce adalah sebuah cerita yang tertuang
dalam sebuah buku baik buku pelajaran, cerita ataupun secara lisan yang
menceritakan sejarah, T yaitu Tokoh pahlawan
di mana cerita tentang tokoh pahlawan diharapkan dapat membentuk karakter
bangsa yang dapat di aplikasi dari
karakter tokoh seperti sikap kepahlawan seorang tokoh terhadap bangsanya yang
tak pernah lelah untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa serta mencintai bangsa
yang saat ini telah luntur pada generasi muda di Indonesia. Kemudian lewat A yaitu cerita tentang “Agama” untuk
membentuk karakter bangsa yang bermoral dan
memiliki sifat terpuji seperti sifat yang sopan santun, penyabar , jujur
dan tidak melakukan sifat tercela seperti melakukan hubungan seks bebas , perdagangan
anak yang mencerminkan rendahnya karakter bangsa Indonesia tanpa nilai-nilai
agama. Dan terakhir melalui R
yaitu “folklor” dimana Indonesia
memiliki banyak suku bangsa dan berbagai folklor yang dapat membentuk karakter bangsa
Indonesia dimana setiap folklor terkandung karakter yang sangat dibutuhkan
bangsa Indonesia. Folklor juga mengandung nilai budaya yang sangat mencerminkan
karakter setiap suku bangsa di Indonesia yang dapat memperkuat jati diri bangsa
Indonesia.
Melalui cetar akan mampu membentuk
karakter bangsa yang positif. Cerita Tokoh Sejarah merupakan hal yang telah
dilupakan oleh bangsa Indonesia padahal melalui tokoh sejarah bangsa Indonesia
dapat mengambil karakter yang terdapat di dalamnya. Dari sisi agama kita
memberikannya melalui ajaran agama yang telah kita anut. Larangan-larangan yang
ada di dalam agama seperti larangan berbohong, bersikap adil dan lain
sebagainya. Melalui CETAR kembali
kita sadarkan bangsa kita akan aturan-aturan ataupun karakter positif yang
sangat berarti untuk bangsa ini serta untuk individu masing-masing. Sedangkan
dari sisi folklore yakni berupa cerita rakyat atau dongeng yang sebenarnya
memiliki nilai positif bagi para pembaca. Kembali kita galakkan cerita rakyat
dengan mengambil karakter positifnya. Seperti contoh kisah dari malin kundang
yang sangat populer dan mencirikan sumatera baratnya. Disamping kita memahami
folklor daerah kita, kita juga mampu mengambil pelajaran dari kisah tersebut
dan menimbulkan karakter positif yang ada di dalam peran “kisah asal mula danau
toba”. Dimana kita bisa melihat akibat yang didapatkan oleh sang lelaki karena
telah mengingkari janjinya ia tenggelam bersama air yang sangat deras. seperti
itulah perumpamaan yang diberikan dari salah satu contoh folklor dari sumater
utara.
1.4
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai cara
menanggulangi permasalahan karakter yang kini semakin memuncak dengan masuknya
budaya barat melalui CETAR.
Manfaat
dari penulisan karya tulis ini adalah tersampaikannya tinjauan manfaat CETAR sebagai solusi yang dapat
dimanfaatkan untuk menanggulangi permasalahan karakter yang ada saat ini.
Melalui cetar maka akan membentuk karakter bangsa yang diidamkan selama ini.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Karakter
2.1.1
Pengertian
Karakter
Menurut Lukman, dkk (1995) karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, ahlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain. Tabiat adalah kebiasaan-kebiasaan sikap
dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari seseorang ataupun kelompok. Pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang telah mempunyai kepribadian asli, dan hal
itu bersifat alami. Setelah itu baru lingkungan sosial yang membangun dan
mengarahkan kepribadian tersebut. Hal ini berarti terdapat faktor pembentukan
karakter manusia dan mempengaruhinya menjadi lebih kuat, melemah, atau mungkin
justru tergantikan dengan kepribadian baru.
Susan
Brown dalam McElmeel (2002) menyatakan bahwa karakter menyangkut atribut:
keriangan (cheerfulness), kewarganegaraan (Cintizenship), kebersihan
(cleanliness), Kasih sayang (compassion), kerjasama (cooperation), keberanian
(courage), kesopanan, (courtesy), kreativitas (Creativity), ketergantungan
(dependability), ketekunan (diligence), keadilan (fairness), kemurahan hati
(generosity), menolong (helpfulness), sukacita (joyfulness), kebaikan
(kindness), kesetiaan (loyalty), kesabaran (patience), ketekunan
(perseverance), ketepatan waktu (punctuality), rasa hormat (respect),
penghargaan terhadap lingkungan hidup (respect for the environment), tanggung
jawab (responsibility), kebanggaan sekolah (school pride), kendali diri (self
control), sportivitas (sportsmanship), toleransi (tolerance), kejujuran (honesty).
Berdasarkan grand design yang dikembangkan
Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter
dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial
kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara
diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1 tabel “konfigurasi karakter”
2.1.2
Proses Terbentuknya Karakter
Terbentuknya karakter seseorang melalui proses yang panjang.
Dia bukanlah proses sehari dua hari, namun bisa bertahun-tahun. Dalam ilustrasi
seorang yang tinggal sementara di Singapura sebelumnya, kita berharap
sepulangnya dia dari sana karakternya akan berubah, tapi kenyataannya tidak.
Ini menunjukkan, waktu satu tahun belum sanggup membentuk karakter.
Suatu
sikap atau prilaku dapat menjadi karakter melalui proses berikut:
-
Pengenalan
-
Pemahaman
-
Penerapan
-
Pengulangan/ pembiasaan
-
Pembudayaan
-
Internalisasi menjadi karakter
Karakter menjadi kuat jika rangkaian proses tersebut
dilewati. Ilustrasi cerita B menunjukkan sikap yang dia nampakkan selama di
luar negeri masih berada dalam ranah psikomotor, yakni sekedar meniru, namun
belum masuk ranah afektif, atau kalaupun ada, itu masih pada level rendah.
Mungkin jika lama tinggal B di luar negeri di perpanjang komponen afektif yang
terbentuk bisa pada level lebih tinggi.
Tahapan di atas dapat dikelompokkan lagi atas dua bagian.
Bagian pertama dominan aspek cognitifnya, yakni mulai dari Tahap Pengenalan
hingga tahap Penerapan. Selanjutnya bagian kedua mulai didominasi oleh ranah
afektif, yakni mulai dari pengulangan sampai internalisasi menjadi karakter.
Bagian ke dua ini, dorongan untuk melakukan sesuatu sudah berasal dari dalam
dirinya sendiri.
Pemahaman atas tahapan pembentukan karakter ini akan sangat
mempengaruhi jenis interfensi apa yang diperlukan untuk membentuk karakter
secara sengaja. Akan sangat berbeda interfensi yang dilakukan pada saat
karakter baru pada tahap pengenalanan dengan tahapan pengulangan atau
pembiasaan.
Pengenalan
Pembentukan karakter dimulai dari fase ini. Untuk seorang
anak, dia mulai mengenal berbagai karakter baik dari lingkungan keluarganya.
Misalnya, pada keluarga yang suka memberi, bersedekah dan berbagi. Dia kenal
bahwa ada sikap yang dianut oleh seluruh anggota keluarganya, yakni suka
memberi. Kakaknya suka membagi makanan atau meminjamkan mainan. Ibunya suka
menyuruh dia memberikan sedekah ketika ada peminta-pinta datang ke rumah.
Ayahnya suka memberikan bantuan pada orang lain. Pada tahapan ini dia berada
pada ranah kognitif, dimana prilaku seperti itu masuk dalam memorinya.
Pemahaman
Setelah seseorang mengenal suatu karakter baik, dengan
melihat berulang-ulang, akan timbul pertanyaan mengapa begitu? Dia bertanya,
kenapa kita harus memberi orang yang minta sedekah? Ibunya tentu akan
menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kemudian dia sendiri juga merasakan
betapa senangnya ketika kakaknya juga mau berbagi dengannya. Dia kemudian
membayangkan betapa senangnya si peminta-minta jika dia diberi uang atau
makanan. Pada tahap ini, si anak mulai paham jawaban atas pertanyaan
”mengapa”
Pengulangan/ Pembiasaan
Didasari oleh pemahaman yang diperolehnya, kemudian si anak
ikut menerapkannya. Pada tahapan awal, dia mungkin sekedar ikut-ikutan, sekedar
meniru saja. Mungkin saja dia hanya melakukan itu jika berada dalam lingkungan
keluarga saja, di luar dia tidak menerapkannya. Seorang yang sampai pada
tahapan ini mungkin melakukan sesuatu atau memberi sedekah itu tanpa didorong
oleh motivasi yang kuat dari dalam dirinya. Seandainya dia kemudian keluar dari
lingkungan tersebut, perbuatan baik itu bisa jadi tidak berlanjut. Ini mungkin
hal terjadi dalam kasus B sebelumnya. Untuk membuat ini menjadi bertahan,
diperlukan pengulangan-pengulangan, hingga akhirnya menjadi pembiasaan.
Pembudayaan
Jika kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang, seperti
misalnya suka memberi dalam ilustrasi bagian ini, untuk meningkat berubah
menjadi karakter, perlu ada pembudayaan. Terminologi pembudayaan menunjukkan
ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama. Suka memberi ini seakan
sudah menjadi kesepakatan yang hidup dilingkungan masyarakat. Ada orang yang
senantiasa mengingatkan, kemudian ada kontrol social, sehingga orang akhirnya
menjadi malu menjadi orang yang pelit. Orang menjadi tidak enak hati jika tidak
ikut dalam pengumpulan sumbangan untuk perbaikan saluran lingkungan, misalnya.
Motivasi keikut sertaan itu adalah disebabkan adanya kontrol sosial, seakan ada
hukuman atau social punishment yang diterapkan. Pada tahapan ini, jika
budayanya sudah menjadi kuat, pendatang yang bergabung ke dalam lingkungan masyarakat
seperti ini akan ikut melakukan hal yang sama.
Internalisasi Menjadi karakter
Tingkatan berikutnya, adalah terjadinya internalisasi
nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sikap atau perbuatan di dalam jiwa
seseorang. Sumber motivasi melakukan suatu respon adalah dari dasar nurani.
Karakter ini akan menjadi semakin kuat jika ikut didorong oleh suatu ideologi
atau believe. Dia tidak memerlukan kontrol social untuk mengekspresikan
sikapnya, sebab yang mengontrol ada di dalam sanubarinya. Disinilah sikap,
prilaku yang diepresikan seseorang berubah menjadi karakter.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka
berbagi, kemudian tinggal dalam masyarakat yang suka bergotong royong, suka
saling memberi, serta memiliki keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang
dia lakukan akan mendapatkan pahala, maka suka memberi ini akan menjadi
karakternya.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak
menekankan sopan santu, tinggal dalam lingkungan yang suka bertengkar dan
mengeluarkan makian dan kata-kata kotor, dan tidak memiliki pemahaman ideologi
yang baik, maka berkatan kotor mungkin akan menjadi karakternya.
Tahapan yang dipaparkan akan saling pengaruh mempengaruhi.
Mekanismenya ibaratkan roda gigi yang saling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan
menggerakkan seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan
dia untuk menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan
melahirkan kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan
menjelma menjadi kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya
values atau believe akan berubah menjadi karakter.
3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Terbentuknya Karakter
·
Agama/
Kepercayaan
Seorang teman bercerita, dia memiliki dua anak. Anak pertama
dimasukkan ke sekolah umum, sejak dari Taman Kanak-kanak hingga SMA. SMA tempat
anaknya adalah sekolah terbaik di kota tempat tinggalnya. Sekolah ini
menyandang titel sebagai sekolah RSBI. Aktifitas di sekolah itu teratur
sedemikian rupa. Para siswa seakan berlomba meraih prestasi. Anak berikutnya
dia sekolahkan pada sekolah Pesantren Modern terpadu. Mulai dari TK sampai SMA
juga. Waktu yang digunakan di sekolah kurang lebih sama, namun hasilnya
berbeda. Dari sisi kesantunan, terlihat perbedaan mencolok. Anak pertama
cenderung memiliki ego lebih tinggi di banding adiknya, cara dan gaya berbicara
juga berbeda jauh. Perhatian terhadap lingkungan dan orang lain juga demikian,
yang kedua kelihatan lebih mudah bersosialisasi. Terlepas dari karakter bawaan
masing-masing, teman ini mengungkapkan bahwa susasana dan kondisi belajar yang
ada di sekolah yang dominan mempengaruhi perbedaan sikap kedua anaknya.
·
Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama yang akan ditemua
seorang anak. Nilai-nilai yang berkembang di dalam keluarga memiliki pengaruh
besar dalam membentuk karakter seseorang. Apa yang dilihat seorang anak di
dalam keluarganya akan menjadi dasar karakter yang terbentuk. Keluarga dengan
orang tua yang bijaksana, lembut dan penuh kasih sayang akan menhasilkan
karakter anak yang berbeda dibandingkan dengan keluarga yang tidak menerapkan
prinsip sopan santun. Keluarga yang agamis akan mempengaruhi pertumbuhan
seseorang menjadi seorang yang agamis pula.
Di dalam keluarga, peran orang tua sangat menentukan. Sebab
figur bapak dan Ibu ini memiliki pengaruh sangat besar dalam pembentukan
karakter. Orang tua yang suka menekan anak, memarahi anak atau suka berkata
tanpa kontrol, dampak segera terlihat pada anak usia balita sekalipun.
·
Lingkungan
Kalau dihitung secara kasar, maka sesungguhnya seorang anak
lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan ketimbang dengan keluarga atau
gurunya. Pagi, anak sudah berangkat ke sekolah. Sekolah ini adalah lingkungan
bagi anak, dia belajar, bermain, berinteraksi dengan kawan dan guru. Pulang
sekolah, sore dia kembali ke lingkungan sekitar rumah, bermain, bercanda dengan
teman main play station, warnet, setelah itu dia akan ke TPA. Baru pulang ke
rumah, kerjakan PR, nonton, dan tidur. Keesokan harinya dia akan mengulangi
rutinitas seperti hari-hari sebelumnya.
Jika lingkungan tempat bermainya tidak terkontrol, kasar,
tidak mengenal sopan santun, suka berjudi, main bola sambil berjudi, main
kartu, pergaulan muda-mudi yang melampaui batas, maka akan punya dampak sangat
hebat terhadap pembentukan karakternya. Akan bertambah sulit memperbaikinya
jika orang tua dan keluarga yang lain tidak peduli atau tidak menyadari.
Dengan cara begini, maka sesungguhnya cara yang paling baik
dalam membentuk karakter seorang anak adalah dengan cara membina dan mengawasi
lingkungannya.
2.1.3
CETAR
·
Cerita Sejarah
Cerita
merupakan pristiwa-pristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang
disajikan dalam sebuah karya fiksi. Kenny (dalam nurgiyantoro,1995:91). Banyak
jenis karya sastra yang berbentuk dalam sebuah cerita.
·
Tokoh Pahlawan
Tokoh
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suara karya naratif, atau drama yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan sang tokoh. Abrams(dalam
Nurgiyantoro,1995:165)
·
Agama
Agama
merupakan suatu ajaran atau sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Di dalam agama banyak kita
temui perintah untuk berkarakter yang baik. Yang dikenal dengan istilah akhlak.
·
FolkloR
Folklor
sebagai bagian dari kebudayaan bertutur menunjukkan dampak mentalitas sosial
yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. Folklor dapat berbentuk cerita
rakyat, lagu daerah atau pun lainnya yang mencirikan suatu daerah. Salah satu
contoh dari folklore adalah cerita rakyat yang berasal dari sumatera utara
yaitu “Cerita Rakyat Nauli Basa” yang memiliki beberapa pesan moral seperti : (1)
sikap ketekunan bekerja mencari nafkah, (2) sifat memperkenalkan diri dengan
sopan dan keakraban, (3) suka bertutur dengan memakai hubungan kekerabatan, (4)
setia terhadap janji (tidak ingkar janji), (5) berani menghadapi resiko, (6)
kesetiaan melayani suami dan anak, (7) kejujuran dan kepatuhan anak kepada ibu
dan bapak dan (7) hormat kepada leluhur dan alam.
BAB
III
METODE
PENULISAN
3.1 Sumber Data
Data yang
digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah studi literatur yang di
dapatkan dari internet dan studi pustaka. Prosuder penulis dalam metode studi
literatur adalah:
1.
Penulis menguraikan informasi
mengenai definisi karakter , cerita , tokoh sejarah , agama dan folklor serta
kegunaan CETAR sebagai solusi cerdas dalam membangun karakter bangsa Indonesia.
2.
Penulis menguraikan pendapat
beberapa pihak mengenai karakter bangsa , cerita , tokoh sejarah , agama dan
Folklor sebagai solusi cerdas dalam membangun karakter bangsa
3.
Penulis mengolah hasil studi
literatur menjadi tulisan dalam karya tulis ini
4.
Penulis mengabil kesimpulan dari
berbagai sumber pustaka
3.2 Analisis Data
Sifat
dan bentuk karya tulis ini adalah deskriptif dan analitik. Dalam karya tulis
ini penulis menggunakan metode kualitatif. Artinya , metode ini menggabungkan
analisis data-data yang ada dengan analisis kualitatif.
3.3 Prosedur Penulisan
Prosedur
penulisan dalam pembuatan karya tulis ini dapat dilihat dari Flow Chart
(diagram alir) sebagai berikut :
Finish/Selesai
|
Kesimpulan
|
Studi Literatur
|
Pengolahan Data
|
Konsultasi Dosen pembimbing
|
Pengumpulan Literatur
|
START/Mulai
|
Pencarian ide/gagasan
|
Gambar 3.1 Flow Chart “penulisan
Karya Tulis”
3.4 Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah sebagai Berikut :
Bab
I Pendahuluan
Berisi latar
belakang , perumusan masalah, uraian singkat mengenai gagasan kreatif yang
ingin disampaikan,serta tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui
penulisan.
Bab
II Telaah Pustaka
Berisi Uraian
yang menunjukkan landasan teori dan konsep-konsep yang relevan dengan masalah
yang dikaji.
Bab
III Metode Penulisan
Berisi metode
yang digunakan penulis dalam penulisan karya tulis dan prosedur penulisannya.
Bab
IV Analisis dan Sintesis
Berisi
analisis-sintesis permasalahan yang didasarkan pada data atau informasi serta
telaah pustaka untuk menghasilkan solusi atau gagasan kreatif yang diberikan
penulis
Bab
V Simpulan
Berisi simpulan
yang konsisten dengan analisis dan sintesis pada pembahasan permasalahan serta
saran yang berupa solusi cerdas dalam membangun karakter bangsa.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis
Analisis
dilakukan dengan cara membandingkan intisari-intisari sumber bacaan sebagai
hasil pengolahan dan penafsiran data, fakta atau informasi. Pada tahap ini
dibandingkan pula data yang diterima dengan teori-teori yang relevan.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka penulis mengungkap sebuah
permasalahan yang sangat penting untuk diperhatikan dan diberikan solusi.
Solusi yang diberikan disesuaikan dengan kebudayaan timur yang kita anut di
Indonesia. Setelah melihat kelemahan dan kelebihan solusi yang ditawarkan, maka
solusi yang diberikan disini kita ambil tidak hanya dari segi pendidikan.
Dimana CETAR dapat berperan di dalam dunia pendidikan dan juga di luar dunia pendidikan.
Dari rumusan dan identifikasi
masalah yang telah penulis jabarkan, maka analisis masalahnya dapat digambarkan
sebagai berikut :
·
Kondisi
Karakter Bangsa Indonesia
Dikalangan generasi muda Indoneisa
karakter suatu bangsa seakan-akan mulai tenggelam terutama mereka yang masih
mencari jati diri. Budaya luar yang begitu deras membanjiri Indonesia lewat
berbagai media terutama media elektronik seperti televisi dan Internet,
sementara budaya Indonesia sepertinya masih malu-malu untuk keluar dari
cangkangnya. Padahal Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya yang
mampu mengharumkan nama bangsa dan membangkitkan rasa cinta terhadap bangsa
Indonesia.
·
CETAR
Cerita
Sejarah
Jati diri bangsa dan perubahan ada dalam sejarah.
Cerita-cerita sejarah yang memiliki banyak nilai-nilai moral yang bisa
mengangkat jati diri bangsa. Cerita sejarah mampu memberikan pemahaman kepada bangsa untuk menggali makna
dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah dan malalui nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya bisa memberikan kearifan yang merupakan pembentuk
karakter bangsa yang sangat efektif apalagi Indonesia diakui sebagi negara yang
kaya akan budaya.
Tokoh Pahlawan
Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suara karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan sang tokoh. Abrams(dalam Nurgiyantoro,1995:165)
Dari watak para tokoh-tokoh sejarah tersebut kita
akan mampu mengambil serta menerapkan karakter positif dari seorang tokoh dalam
kehidupan sehari-hari kita. Seperti halnya watak dari seorang tokoh sejarah
yang bernama Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, Teuku Umar dan sederet
pahlawan bangsa lainnya yang telah berani mengatakan bahwa “imperealisme dan
kolonialisme adalah bentuk ketidak adilan dan karenanya harus dilawan”.
Sikap tokoh yang begitu memiliki karakter inilah
yang patut dijadikan contoh yang seharusnya ditelaah oleh bangsa kita serta
diterapkan kembali. Sikap-sikap tokoh pahlawan yang ada sangat patut untuk kita
teladani dalam membangun karakter bangsa ini. Bangsa ini membutuhkan teladan
yang dapat kita ambil dari tokoh-tokoh pahlawan kita yang jelas telah berhaasil
menyelamatkan tanah air ini bersama darah mereka. Sikap rela berkorban yang
begitu besar yang sudah sepantasnya kita jadikan bahan telaah bersama serta
penerapan bersama dalam membangun karakter bangsa.
Agama
Pengembangan karakter bangsa menuntut adanya
kesadaran budaya (cultural awareness) dan kecerdasan budaya (cultural
intellegence). Maka sudah menjadi keniscayaan bagi bangsa untuk memperhatikan
warisan budaya leluhurnya. Di antara yang dapat dijadikan modal untuk membangun
karakter bangsa adalah nilai-nilai agama. Sebab, agama di negeri ini berkembang
dengan khas dan unik.
Terwujudnya akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat
merupakan misi utama dari pembelajaran agama. Adapun karakter lebih ditekankan
pada aplikasi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Jadi karakter
lebih mengarah kepada sikap dan prilaku manusia. Yang menjadi persoalan penting
adalah bagaimana karakter atau akhlak mulia mampu menjadi kultur atau budaya,
khususnya bagi generasi muda. Artinya, kajian tentang akhlak mulia ini penting,
tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana nilai-nilai akhlak mulia mampu
tercipta dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi habit generasi muda.
Agama memiliki peranan penting yang dinomor satukan
dalam pembentukan karakter bangsa ini. Ketika seseorang memiliki pengetahuan
agama maka jelas ia akan mampu mensinergiskannya dengan melakoni sebuah
karakter yang positif. Karena agama merupakan pedoman kita dalam menjalani
aktivitas kehidupan ini.
Folklore
Dalam kedudukan sebagai budaya daerah, cerita rakyat
merupakan salah satu bentuk tradisi lisan (folklore) yang ada dalam masyarakat
Indonesia yang berpengaruh terhadap perubahan social masyarakat pendukungnya.
Di dalam cerita rakyat acapkali terefleksikan fenomena social masyarakatnya.
Secara keseluruhan, Danandjaja (1997:22)
mengklasifikasikan tradisi lisan menjadi enam bentuk, yakni: (a) bahasa rakyat,
(b) ungkapan tradisional, (c) pernyataan tradisional, (d) sajak dalam puisi
rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat. Namun, berdasarkan
pengamatan di lapangan, di antara bentuk-bentuk tersebut cerita prosa rakyatlah yang paling berpengaruh terhadap
kehidupan social masyarakatnya.
Menurut Bascom (Danandjaja, 1997:50) cerita prosa
itu pun kemudian diklasifikasikan lagi menjadi (a) mite (myth), (b) legenda
(legend), dan (c) dongeng (foktale). Cerita rakyat tersebut menyebar ke semua
daerah di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, kita mengenal ada cerita “asal
mula danau toba” yang berasal dari Sumatera Utara.
Jadi, folklore yang dimaksud disini memiliki cakupan
yang cukup luas yang memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter
bangsa. Dari penerapan folklore yang ada bangsa ini tidak akan lagi kehilangan
jati dirinya. Ia pun akan menghargai dengan sangat budaya yang ada pada bangsa
ini. Karena dari cerita-cerita rakyat serta lagu-lagu daerah yang ada semuanya
memiliki pesan yang sangat berarti dalam penanaman sebuah karakter.
4.2 Sintesis
MEMBANGUN
KARAKTER BANGSA
|
Cerita sejarah
|
Tokoh pahlawan
|
Agama
|
Folklor
|
Gambar 1.2 Flow Chart “membangun
karakter bangsa melalui CETAR”
Cetar
(Cerita sejarah, Tokoh Pahlawan, Agama dan Folkor) merupakan sebuah solusi
cerdas yang akan membangun karakter bangsa. Melalui CETAR jati diri bangsa akan kembali karena pada dasarnya sebuah
karakter dihasilkan melalui kebiasaan serta lingkungan sekitar. Ketika bangsa
Indonesia mengetahui cerita sejarah, mengenal tokoh pahlawan, memahami agama,
serta folklor maka bangsa Indonesia akan terbiasa dengan hal-hal yang positif
seperti karakter yang positif yang ia dengar dari folklore ataupun cerita
sejarah dan tokoh pahlawan yang ada serta menjalankan perintah dan larangan
agamanya.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan dan Rekomendasi
Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam membangun karakter bangsa baik melalui pendidikan, budaya,
Sikap Nasionalisme, Religius dan lain sebagainya.
Cara – cara diatas dapat dilakukan sesuai
dengan ranah bidang akademisi ataupun IPTEK yang kita geluti. Dalam hal ini CETAR
berperan dalam membangun karakter bangsa CETAR merupakan solusi cerdas yang
timbul melalui cerminan para tokoh pahlawan serta cerita sejarah. Baik dari
sisi budaya, sikap nasionalisme serta nilai religious.
Cerita sejarah sangat berperan
membentuk generasi bangsa yang memiliki sifat nasionalisme yang tinggi terhadap
negaranya yang merupakan salah satu bentuk karakter yaitu kewarganegaraan (citizenship).
Tokoh pahlawan dapat memberikan konstribusi yang besar untuk membentuk karakter
bangsa karena dengan memahami perjuangan tokoh pahlawan maka pewarisan sifat
tokoh dapat tertransfer ke generasi muda dengan mencerminkan karakter yang adil
, berani dan rela berkorban demi bangsa Indonesia yang ia cintai. Cerita agama
jelas sangat mempengaruhi karakter seseorang karena dengan penanaman
nilai-nilai agama maka tercipta karakter yang bermoral dan bermatabat sesuai
dengan arah pembangunan watak bangsa Indonesia. Dan dengan Folklore
generasi muda dapat mencontoh karakter yang baik di dalam sebuah cerita rakyat
yang setiap daerah memiliki cerita rakyat sendiri .
Jadi dengan Cetar karakter bangsa Indonesia dapat terbentuk kearah
yang positif dan menimbulkan kembali jati diri bangsa Indonesia yang saat ini
sudah mulai tenggelam ditelan arus globalisasi. Bangsa Indonesia akan menjadi
negara adidaya dunia, apabila mampu mengenali jati diri sebagai Indonesia.
Tentu pengenalan dan pengembangan cerita sejarah, tokoh pahlawan, agama dan
folklore sebagai opsi yang wajib bagi seluruh elemen bangsa, terutama kalangan
akademis yang sangat bertanggung jawab akan perkembangan folklor dari sisi
keilmiahan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://inspiringidea.wordpress.com/2011/12/28/faktor-yang-mempengaruhi-terbentuknya-karakter-2/ (akses kamis, 17 April 2013)
http://abeecdick.wordpress.com/2010/06/21/5-tahap-pembentukan-karakter/(akses kamis, 17 April 2013)
http://akarfoundation.wordpress.com/2008/01/09/kepahlawanan-dan-kepemimpinan/ (akses rabu, 16 April 2013)
www.blogspot.makalah.com (akses
kamis, 17 April 2013)
http://sejarah-dan-pembentukan-karakter-bangsa-474659.html
(akses kamis, 17 April 2013)
http://
proses-pembentukan-karakter-kepada-anak-_art-121.html (akses kamis, 17 April
2013)
http://hal-hal-yang-mempengaruhi-karakter.html
(akses kamis, 17 April 2013)
http://
bagaimanakah-cara-membangun-karakter.html (akses kamis, 17 April 2013)
Pendidikan
Sejarah. Jurnal Jas Merah. Vol 3 No 1 Agustus 2009. Unimed
Majalah.
Edisi 3 Januari 2012. Unimed
Jurnal.
Antropologi Sumatera Folklor dan Tradisi Kemasyarakatan. Vol 3 No 2 Desember
2006. Medan
Jurnal.
Sejarah Lontar. Vol 8 No 1 januari 2008. Universitas Negeri Yogyakarta
Lukas, Sugiharto. Masih Eksiskah Karakter Bangsa Indonesia.
Makalah
Marzuki. Membangun Karakter Bangsa Masa Depan melalui
Revitalisasi Pendidikan Agama di Sekolah. Makalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar