Selasa, 16 September 2014

KISAH INSPIRATIF. JANGAN PERNAH LIBATKAN EMOSI SAAT MENGAMBIL KEPUTUSAN

Alkisah, ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Dia merupakan penari terbaik di sebuah sanggar tari. Dia bermimpi, dengan bakat yang dimilikinya saat ini, suatu hari nanti, dia ingin menjadi penari bertaraf internasional. Dengan kemampuannya, dia bisa melanglang buana ke Rusia, China, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, serta ditonton oleh ribuan penonton.
Suatu hari, kotanya dikunjungi seorang pakar tari yang berasal dari luar negara. Pakar ini sangatlah hebat. Lewat tangan dinginnya, telah banyak penari-penari kelas dunia lahir. Gadis muda ini ingin sekali unjuk diri di depan sang pakar tersebut, malah jika bisa, menjadi muridnya. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda menemui sang pakar di belakang panggung.
Si gadis muda bertanya, “Tuan, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah tuan punya waktu untuk menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat tuan tentang tarian saya.” “Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit,” jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursi, lalu pergi meninggalkan si gadis muda, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sang gadis bengong.
Betapa hancur si gadis melihat sikap sang pakar. Dia berlari keluar, mencari sang pakar. Nihil. Pulang ke rumah, dia menangis sepuas-puasnya. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada maknanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya, lalu dilemparkan ke dalam gudang.
Sejak saat itu, dia bersumpah tidak akan menari lagi. Puluhan tahun berlalu. Sang gadis kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan di sebuah kedai.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari kolosal yang diadakan di kota itu. Sebuah pertunjukan yang mengundang pakar tari dari berbagai penjuru dunia. Tak ketinggalan, sang pakar tari kembali hadir. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Dia tidak dapat melupakan masa lalunya. Dan berharap dapat berjumpa dengan sang pakar kembali.
Selesai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab. Si ibu bertanya, “Tuan, ada satu pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun di hati saya tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan tuan.
Sebegitu buruknya-kah penampilan saya saat itu, sehingga tuan terus pergi meninggalkan saya, tanpa berkata sepatah kata pun?” “Oh ya, saya ingat peristiwa itu. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya malah kaget begitu mengetahui kamu tiba-tiba berhenti dari dunia tari,” jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawapan sang pakar. “Ini tidak adil,” seru si ibu muda dalam hati. “Sikap tuan telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa tuan meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari. Tuan seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Jika tidak, pasti sekarang saya sudah menjadi penari bertaraf dunia. Bukan hanya menjadi pelayan kedai.” ujar ibu muda dengan gelegak kecewa yang mendalam.
“Tidak …. tidak, saya rasa telah berbuat yang sepatutnya. Anda tidak semestinya minum anggur satu tong untuk membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton Anda 10 menit untuk membuktikan tarian Anda bagus. Malam itu, saya sangat lelah setelah pertunjukan pentas.
Maka saya tinggalkan Anda sejenak, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap Anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi Anda keburu pergi,” pakar menjelaskan dengan runtut.
“Dan satu hal yang perlu Anda pahami, bahwa Anda sepatutnya fokus pada impian Anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya.” “Dan pujian, kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang belajar.
Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasi, namun bisa jadi melemahkanmu. Dan faktanya, saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang belajar, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti.
Lagipula, pujian itu seharusnya datang dari keinginan saya sendiri. Anda tidak sewajarnya meminta pujian dari orang lain.” “Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah remeh. Seandainya Anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini Anda sudah menjadi penari kelas dunia.” “Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati Anda akan cepat hilang setelah Anda berlatih kembali.
Tapi sakit hati karena penyesalan Anda hari ini, tidak mungkin hilang selama-lamanya.”
Demikian kisah penuh hikmah tersebut. Bisa jadi, pencuri impian sesungguhnya adalah diri kita sendiri, yang mencap “tidak bisa” dalam alam bawah sadar kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar