Rabu, 07 November 2012

IZINKAN CINTA UNTUK MEMILIH_cerpen


IZINKAN CINTA UNTUK MEMILIH
Semilir angin kian menggoyahkan hati untuk menyerah dengan tantangan yang cukup spektakuler bagiku saat ini. Ia kian menyedot perhatianku dengan menari di ufuk kerlipan indah tatapanku. Kian ramai sekelilingku dengan canda tawa dari beraneka tingkatan umur dari balita hingga lansia. Berbagai macam aktivitas yang mereka lakukan untuk terus bertahan dengan beragam goncangan sandiwara kehidupan yang fana ini. Terlintas bayangan sosok pria yang dari tadi kian memperhatikanku. Sorotan matanya yang dari kejauhan terus membuatku semakin penasaran. Langkah kaki ingin mendekatinya namun tak mungkin ku lakukan. Tatapannya yang tajam kian menggerogoti hatiku mengajak untuk menjemputnya di singgasana senyuman indahya. Derap kaki yang kian ku hayunkan terasa seperti barisan panglima perang yang ingin menghadang musuh. Semakin mendekat sosok pria itu pun berdiri dan melangkah menyambut kehadiranku.
“Mau  kemana?”
“Ketemu kamu, aku Sasya. kamu?”
“Ferdy. Apa kita sudah pernah kenal sebelumnya?”
“mungkin,”
“kok mungkin sih?”
“Ya, menurut kamu?”
“aku ngerasa kamu itu nggak asing lagi”
“ya, mungkin”
“idih…kok mungkin mulu sih?”
“ya, Sasya juga nggak tau apakah kita pernah kenal sebelumnya”
“lantas, ngapain kamu nyamperin aku?”
“yeah…kepedean. Yang ada kamu tuh yang nyamperin Sasya..mau kenalan kan?”
“idih…sumpah pede banget sih jadi cewek”
Perbincangan pun terus mengalir bagai air bersama canda tawa dan perkelahian kecil sembari berkeliling mengitari stadion. Angin benar-benar seperti telah mengirimkan secercah kebahagiaannya untukku di hari itu. Aku benar-benar nggak tau kenapa tampak begitu akrab dengannya. Permasalahan klassik kian larut bersama hari itu. Ternyata dunia yang ku kira sempit bukanlah statement yang bisa dipertanggung jawabkan. Dunia yang cukup luas dengan kebahagiaan ketika kita berani menjemput kebahagiaan itu. Kebahagiaan tidak akan mungkin datang begitu saja tanpa adanya usaha untuk menjemputnya. Kini kesendirianku telah pupus bersama larutnya permasalahan klassik yang telah disemai oleh nuansa baru bersama Ferdi. Keakraban yang begitu indah terasa saling mengisi. Keceriaan kian melingkup dalam hari-hariku. Serasa ingin hidup seribu tahun lagi dengan keadaan yang seperti sekarang.  Tiada sempat waktuku untuk murung, cemberut, apalagi nangis. Ferdi telah masuk dalam kehidupanku dan mewarnainya. Banyak pelajaran berharga yang ku dapat darinya, pelajaran untuk menyayangi orang lain, menghargai orang lain, mengerti orang lain dan lainnya. Bagaimana mungkin kita akan dihargai orang lain sementara kita tidak memulai untuk menghargai orang lain. Bagaimana mungkin orang lain akan menyayangi kita sementara kita asyik membenci orang lain. Dan bagaimana mungkin orang lain akan menghargai kita sementara kita tidak pernah menghargai orang lain. Kini ku mulai mampu menebar kasih sayangku untuk orang lain, emosiku lebih terkontrol dan kehidupanku lebih baik dari sebelumnya. Tanpa Ferdi serasa sepi hari-hariku. Ku seperti sudah mengenal lama sosok Ferdi. Walaupun usia perkenalan kami baru memasuki dua bulan, namun ku seperti sudah ketergantungan padanya. Ku tak ingin kehilangan sosok dia. Penyemangat, teman berantam, tukar informasi dan pengalaman. Ferdi seperti soulmate hidupku. Apakah ini yang namanya soulmate yang ada di novel-novel itu??? Ah…lamunanku tentang Ferdi berhenti sejenak ketika telpon berdering.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam warahmatullah…. Ada apa Fer?”
“hm…lagi ngapain Sya??? Jangan mikirin aku terus ya..”
“idih…pede tingkat dewa banget sih lo…..nggak kok..”
“nggak apa? Nggak salah lagi ya??”
“hm…to do point za deh, ada apa nelpon? Kangen ya”
“nah, itu kamu tau….”
“ya aku kan orangnya emang ngangenin”
“hm..iya, aku kangen kamu….ke gramedia yuk”
“ok..”
“tapi kamu dandan yang cantik ya, soalnya aku malu kalau jalan sama orang jelek kayak kamu.”
“idiiih…..nggak salah? Yang ada aku yang malu jalan sama cowok jelek kayak kamu”
“duh..duh….panjangnya repetannya..yaudah gih sana siapan, 15 menit lagi aku nyampe, ok.”
“iya..iya pangeran…”
“yaudah ya, assalamau’alaikum”
“wa’alaikum salam warahmatullah.”
Salam kerinduan kepada sang pencipta langit di malam yang kian hening bersama tetesan hujan dan dinginnya malam. Kegelapan selalu setia menemani malam yang hujan. Indahnya cahaya sang bintang kini tak mampu terpancar ke kamarku. Berdua dengan sang pencipta serasa nyaman. Keluhan duniawi selama ini kian terkikis bak hujan yang mengikis debu di jalanan. Terasa bersih jiwa ini setelah berdua dan bermunajat dalam tahajud-Nya. Ketika sang mentari menampakkan sinarnya pertanda aktivitas duniawi telah menungguku dengan segudang agenda yang terkadang membuatku seperti tak sempat untuk benafas. Deretan agenda yang seakan memaksaku untuk tidak memiliki waktu dengan Ferdy lagi. Miss communication pun kian tercipta diantara kami.
Salam hangat di sore hari ketika pelangi menampakkan keindahannya di tengah stadion yang seakan aku sendiri disana walaupun banyak mata yang juga merasakan keindahan itu. Sore itu seakan hanya aku yang menikmati pancaran keindahanya. Tanpa ada seorang pun yang menggangguku ketika itu. Rintikan hujan kian membasahi bumi serasa membasahi hati yang kini merindu akan sosok yang selama ini mewarnai hari-hariku. “Inikah cinta yang selama ini dirasakan oleh banyak kalangan pemuda dan remaja” ujarku dalam hati. Perasaan yang seakan menusuk hatiku sendiri, ingin rasanya menjeritkan apa yang aku rasakan saat ini. Rasa rindu yang kian membara hanya waktu bersamanya yang aku inginkan saat itu. Sang pelangi kini telah tenggelam bersama terbitnya sang bintang. Namun, ku masih saja menunggu berharap sang pangeran hadir di tempat itu. Stadion tempat ku pertama mengenalnya dan bertemu. Bersama sang bintang dan sejuknya malam kerinduan terasa semakin mencabik-cabik hatiku yang kian meringis. Tangisan hati yang hanya mempu ku ceritakan pada sang bintang malam itu.
Weekand ceria bersama keluarga besar. Rentetan nasehat tercurah untukku yang sedang menapaki dunia mahasiswa. Bunda selalu berpesan agar ku jauh dari dunia “pacaran” karena takut akan mengganggu dunia akademikku. Juga bunda takut kalau lelaki yang ku dapat adalah satu dari buaya-buaya darat di dunia ini. Bunda juga sangat khawatir akan efek pergaulan bebas yang sedang marak saat ini. Bunda bilang kalau kita sebagai cewek bukan mencari tetapi menungu. Ntahlah apakah kalimat itu masih pantas untuk zaman emansipasi saat ini. Tapi ku selalu yakin bahwa sang khalik telah menyiapkan sosok pasangan yang akan membimbingku menuju kebahagiaan yang abadi di dunia dan akhiratnya.
“bagaimana kabar kuliahnya Sya?”
“Alhamdulillah lancar om”
“wah, sudah banyak dunk pangeran berkuda putih yang ngantri sama keponakan om yang sweet smart ini”
“paan sih oom ada-ada aja”
“bukan pangeran berkuda putih om, sekarang mah pangeran ber avanza putih..hehehe” ujar sepupuku
“iya..iya maksud om juga itu Ca..”
“enggak-enggak..Sasya itu harus selesaikan kuliahnya dulu baru boleh cari pangeran” ujar bunda
“loh, kakak ini gimana sih? Yang nyuruh Sasya untuk cari pangeran siapa? Saya kan bilang yang antri. Lagian saya juga nggak rela keponakan saya yang satu ini harus mencari-cari. Kalau butuh stock saya banyak tuh sudah terkraditas lagi.”
“om ma Ica paan sih, jadi merepet si bunda kan… pake stock terakraditas lagi, emang kampus apa terakraditas..?”
“hm..BTW lagi dekat ma siapa sekarang Sya?” bisik Ica
“idiiih paan sih Ca?? ntar denger bunda loh, jadi brabe kan.”
“iya-iya Cuma rahasia kita aja kok..”
“hm…ikutin aja tweet Sasya Ca..”
“iya, selalu Sya, lagi ada masalah ya sama doi?”
“Miss communication Ca”
“gara-gara apa?”
“kesibukan kami masing-masing membuat kami tidak punya waku lagi”
“sekedar smsan atau telponan?”
“ya, terkadang untuk sms aja tunggu berhari-hari baru dapat balasan. Begitu juga dengan smsnya berhari-hari baru sempat Sasya balas. Waktu off kami sering berbentur Ca, nggak pernah sama.”
“hm…lantas sebenarnya hubungan kalian apa sih?”
“kami tidak pernah memvonis hubungan kami itu berbentuk apa, namun kedekatan kami dan komitmen kami sudah terbentuk.”
“mengarah maksudnya”
“ya, seperti itulah. Sya juga berharap dia yang terakhir untuk selamanya”
“seyakin itu Sya? Sebaik apa sih dia?”
“hm..jadi penasaran. Uda coba certain ke bunda?”
“mana berani Ca, bisa-bisa disuruh berhenti kuliah Sasya”
“yaelah Sya, itu kan pendapatmu. Uda pernah dicoba?”
“belum dan nggak akan”
“yah…belum usaha udah nyerah duluan”
            Kilatan petir membuyarkan lamunanku akan informasi yang di posting Ferdy di tweetnya. Go S2 ke Amrik. Akademik yang cukup memuaskan bagi setiap mahasiswa dan pasti membanggakan untuk dijadikan hadiah untuk orang tua. Namun, ku tak mampu membohongi hati ini yang semakin menjerit. Karena sudah pasti long distance atau bahkan komunikas yang terputus. Aku nggak mau menjadi penghancur keputusannya. Live is choice. Bukankah langkah, rizki, pertemuan dan maut telah ditentukan Allah dan pasti datangnya. Jika ku emang berjodoh dengannya InsyaAllah ku kan bertemu di waktu yang tepat. Namun, serasa sandiwara semua ini , seperti beracting di dunia ini. Hari-hari indah kemarin seperti lukisan saat ini. Kenapa harus ada pertemuan jika ada perpisahan. Kenapa harus ada kenangan jika memang ada kesendirian. Kebahagian itu serasa sebentar bagai kerlipan mata. Sedangkan kesenderian serasa hidup ribuan tahun. Mungkin dengan bersandiwara lagi-lagi akan menyelesaikan permasalahan hati ini. Ponsel ku pun berbunyi telpon dari Ferdy. Ia mengajak ku bertemu di stadion H-7 sebelum keberangkatannya ke Amrik. Apalagi kalau bukan membicarakan masalah kepergiannya. Ya, kamu harus tegar Sya, hapus air matamu dan ceriakan wajahmu di depannya, ikhlaskan kepergian sementaranya untuk menuntut ilmu.
“udah lama nunggu?”
“nggak kok”
“sendiri aja?”
“Iya, gimana kabarnya?”
“hm.. sakit,”
“sakit apa? Sehat kegitu kok dibilang sakit?”
“ikut yuk ke Amrik,”
“haha…becanda aja. Nggak  mungkinlah. Sasya juga punya amanah disini. Itu sudah menjadi pilihanmu. Jalani dan pertanggungjawabkan. Jangan pernah mundur sebelum berperang. Cuma 2 tahun kan? Setelah itu kamu bisa melanjutkan misimu disini. Bukankah itu cita-citamu? Perjuangkan sobat.”
“baiklah. Boleh minta sesuatu?”
“apa itu?”
“titip hati ini. Jaga hati ini. Kamu yang bilang 2 tahun itu sebentar. Dan kita harus buktikan itu.”
“(hanya tersenyum)”
“kenapa diam?”
“Iya, insyaAllah”
Ini adalah pilihan dan harus dilewati. Bagaimanapun aku harus tetap tegar di depan dia. Aku nggak boleh lemah. Aku akan tetap menunggunya sampai waktu itu tiba.
“nggak minat S2 Sya?”
“istirahat dulu lah bun, Sya pengen masuk Tahfidz. Boleh ya bun?”
“yakin nak? Bunda sih izin-izin saja. Terserah mana yang baik menurut Sasya”
“InsyaAllah yakin bun, ini pilihan dan cita-cita Sasya. Sya nggak mampu memberikan harta yang berlimpah kepada bunda dan keluarga. Sya ingin memberika mahkota ke bunda dan keluarga di hari akhir nda..”
“amin. (terharu dan memeluk Sasya)”
Live is choice. Hidup ini adalah pilihan. Ketika kita sudah berani untuk mengambil keputusan akan pilihan kita maka kita harus mampu mempertanggung jawabkannya. Segala sesuatu di muka bumi ini adalah tantangan yang harus kita lalui. Setiap pertemuan pastilah ada perpisahan. Jangan pernah menyerah untuk melewatinya. Karena indah pada waktunya.

                                                                                                Medan, 15 Oktober 2012
                                                                             By : Hana Zyfia Mumtaz


Tidak ada komentar:

Posting Komentar